Sebelum menikah dan menempati rumah sendiri, saya tinggal di rumah orangtua. Ada periode kos, tapi hanya sebentar. Rumah yang kadang terasa besar dan sepi, tapi ternyata hangat. Mungkin karena sebagian besar masa kecil saya ada di sana.
Saya tinggal di rumah itu sejak tahun 1993, sejak belum bisa mengingat. Sempat tinggal di luar kota namun hanya setahun. Rumah itu menjadi tempat saya pulang—sejak halaman belakang masih ada pohon cabai dan belimbing, sampai ketika renovasi besar-besaran dan kamarnya jadi lima. Sampai Ibu meninggal dua tahun setelah rumah selesai dan ruang tengah menjadi tempat persemayaman jenazahnya.
Tahun 2021 lalu Ayah memutuskan untuk menjual rumah itu, karena satu dan lain hal. Tadinya saya pikir keluarga kami akan pindah jauh; ternyata pindahnya dekat, hanya dua rumah saja. Ini artinya kami hanya berpindah rumah tanpa harus berganti lingkungan. I thought that would be easier.
Ternyata tetap ada rasa aneh karena harus pulang lewat jalan yang sama, tapi tidak bisa masuk ke rumahnya. Dari luar, rumah itu masih seperti rumah kami, seperti kusen dan pagar yang tidak berganti; tetapi kalau melihat sekilas, foto keluarga yang tergantung sudah berbeda, ada ornamen-ornamen yang tidak dikenali, dan tentu saja—kami sudah tidak boleh masuk ke sana lagi.
Ayah saya pindah ke kampung halamannya di Garut. Membangun gubuk dengan dapur sederhana, menggunakan toilet yang menempel di masjid dekat situ. Kalau malam hari, penduduk kampung mampir ke rumahnya untuk bercengkerama. Kadang kalau ditelepon sulit karena susah sinyal; atau Ayah sedang berkumpul dengan teman-temannya di kampung.
Ayah tinggal di rumah kecil berbahan bambu dan kayu, dengan kolam di depannya. Saya anak kota yang canggung saat masuk desa. Tidak ada yang saya kenal dekat selain Ayah di sana, sekali pun di sana adalah kampung keluarga.
Akhir-akhir ini kadang saya suka sentimentil. Terutama kalau badan dan pikiran sedang merasa sangat lelah. Saya ingin berkunjung ke rumah orangtua, pikir saya—tapi yang ada di pikiran saya bukanlah rumah Ayah sekarang, melainkan rumah lama kami yang sudah jadi milik orang lain.
Enable 3rd party cookies or use another browser
Pergi ke tempat Ayah tinggal sekarang, bagi saya, bukanlah “pulang”; tapi lebih mirip bertamu: melihat Ayah di tempat tinggalnya yang baru. Saya tidak mengenali orang-orang di sekitarnya, tidak mengenali bagaimana cara ia hidup setelah pindah dari rumah yang lama. Saya datang ke rumah kecil Ayah, tapi bingung harus ngapain.
Selain hubungan saya yang awkward dengan Ayah, saya tidak familier dengan barang-barang yang ada dan tidak terbiasa, dan tidak ada tempat untuk “menunggu”.
Saya masih berjuang supaya merasa nyaman di sekitar Ayah. Ayah tidak terbiasa mengakrabkan diri dengan anaknya, dan tahun-tahun yang dilewatkan dengan banyak miskomunikasi serta diskomunikasi membuat kami tidak bisa berkomunikasi dengan cair.
Tidak jelas apa yang dikangeni. Kalau ketemu Ayah, toh sudah. Mau mengobrol, bingung juga. Saya kadang berharap Ayah bisa bicara dua arah; karena saya merasa lagi-lagi saya yang bertanya. Sunyi yang ada di antara kami bukanlah sunyi yang nyaman, tapi sunyi yang membuat canggung.
Saya hanya bertemu Ayah sebentar. Setelah itu, saya memeluk beliau tiga kali. Rasanya masih kurang. Ayah sepertinya juga bingung menerima pelukan saya, tapi toh beliau tidak menolak. Respons kaku beliau tidak membuat saya kecewa. Ingin memeluk lebih lama, tapi bingung juga harus bagaimana. Deskriptornya nggak ada yang lain, pokoknya bingung.
Tetapi, saya menangis di perjalanan pulang, sambil suami menepuk-nepuk lutut saya, sementara tangan sebelahnya memegang kemudi motor. Saya masih ingin berada di sana—dengan Ayah—namun di tempat berbeda. Tidak cuma bertemu Ayah, namun sekaligus dengan rumah dan adik-adik, tempat kami pernah serumah bersama-sama.
Rumah kami yang lama adalah lem yang tidak terlihat. Meja makan yang cukup untuk kami berempat, ditambah kucing yang tidur di pojok ruangan. Kalau saya memasak di dapur, saya tidak pernah sendirian. Saya dan adik akan mengobrol sambil memotong sayur, menggoreng ayam. Kalau adik saya yang satu pulang, dia akan mampir ke dapur untuk ikut bercerita.
It still feels like something missing. Kepada orangtua, kepada adik-adik yang kini tinggal di rumah yang berbeda, kadang saya ingin berkata, mari pulang, berkumpul sejenak. Sesuatu yang saya tahu tidak bisa lagi dinikmati dengan cara yang sama, karena waktu dan keadaannya sudah berbeda.
Yang saya rindukan adalah satu paket lengkap—yang dulu saya rasa tidak terlalu berharga karena sudah terbiasa. Ketika fase kehidupan sudah berbeda, ternyata, bisa membuat kangen luar biasa.
Kata adik saya, rumah yang itu sudah tidak ada, karena sekarang adalah waktunya membangun rumah-rumah baru. Kalau dulu rumahnya hanya satu, sekarang bisa ada banyak: rumah tempat saya tinggal sekarang, rumah tempat ayah tinggal sekarang, rumah tempat adik saya tinggal sekarang. Semua terpisah, tapi setiap kali semua berkumpul, pasti pengalaman rumah bisa didapatkan.
Tahun ini akan menjadi tahun ketiga saya beridul fitri di tempat lain. Pun setiap kali bertemu dengan Ayah, atau adik-adik, selalu berada di tempat terpisah, atau waktunya tidak cocok, atau salah satunya berada di luar kota, atau berada di antara keramaian dan banyak orang. Mungkin perasaan itulah yang membuat saya belum merasa lengkap, belum merasa penuh.
Ternyata, ketika semua orang menjadi orang dewasa, mengatur waktu menjadi sebuah hal yang begitu sulit.
Maka, perasaan ini pun masih menggantung. Masih menjadi sebuah hal yang ingin saya kejar dan saya wujudkan. Semoga lekas bisa terlaksana, selama kami semua masih sehat, selama kami semua masih mampu.
Semoga kami bisa segera berkumpul lagi, bersama-sama.